Memilih pensiun dini sebagai wartawan, Sunarto banting setir menekuni bisnis kuliner dengan mendirikan warung sate tegal sejak tahun 2003.
Padahal karier lulusan Universitas Diponegoro, Semarang ini sebenarnya
tengah di moncer-moncernya di surat kabar nasional di Ibu Kota.
"Saya tertarik bisnis kuliner antara lain didorong saat sering liputan dan menangani rubrik tentang kuliner," ujar Narto, panggilan rekan-rekannya saat masih di media. Saat memulai, dia mengaku dapat pinjaman modal dari saudaranya.
Namun, jalan yang dilalui ayah dari Raidha ini cukup terjal dan berliku. Saat mulai membuka warung dia langsung dihadang masalah. tanah yang dia beli untuk mendirikan warung di daerah Cibinong ternyata jalur hijau. Sehingga baru sekitar enam bulan bangunan permanen dua tingkat didirikan dan warung dibuka terkena penggusuran.
Dia, istri dan anak semata wayang menyaksikan langsung penggusuran bangunan yang menghabiskan puluhan juta saat dibangun itu. Dia mengaku salah dan tertipu saat membeli tanah. Namun Narto justru mendapat jalan di tengah penggusuran itu. "Habis penggusuran saya malah ditawari petugas Trantib untuk mendirikan tenda di depan Kantor Pemkab Bogor di Cibinong," ujar Narto.
Tawaran itu langsung ditangkap. Dia mendirikan warung tenda dengan menu bebek goreng yang dinamakan "Bego". Selain tentu saja menu sate kambing. Perlahan tapi pasti warungnya banyak pembelinya. Hanya berselang dua bulan dia membuka satu cabang masih tak jauh dari lokasi yang pertama. Tak lama kemudian satu warung tenda dibuka lagi. Sehingga dalam waktu setahun setelah tergusur dia bisa mendirikan tiga warung tenda.
Merasa terlanjur "basah" di bisnis kuliner, Narto mengaku semakin menekuni kegiatannya itu. Apalagi ada 20 karyawan yang bekerja pada dia. Untuk itu tak jarang, sehabis menutup warung tenda ditengah malam, dia lanjutkan belanja sayuran ke pasar hingga subuh. Usaha-usaha pengembangan tak henti dilakukan. "Terpenting adalah mencari lokasi yang tepat," ujarnya.
Setelah berkali-kali tak berhasil, akhirnya dia mendapatkan lahan sewa di pinggir jalan baru Bogor-Parung. Di tempat yang kini semakin ramai setelah dibukanya jalan tol luar Bogor itu Narto menyewa lahan seluas 200 meter persegi selama 10 tahun untuk dirikan warung sate "Laka-laka" tahun 2010. Berarti dia butuh waktu tujuh tahun untuk bisa bangkit mendirikan warung lagi.
Pilihan Narto tidak salah. Warung yang didirikan di atas lahan sewa itu banyak dikunjungi pembeli. Menunya pun bervariasi. Selain menu utama sate kambing, dia juga menjual bebek goreng, ayam goreng, sop sapi, sate ayam, sop kambing. Selain berbagai minuman. Ia pun mengajak keluarga pemilik lahan itu untuk menjual es kelapa muda. Dia menyebut rata-rata untuk kambing dia bisa menghabiskan lima ekor.
Bulan Juni 2012, dia kembali membuka cabang sate "Laka-laka" di Kota Bogor. Di kawasan kuliner itu, dia mengaku menginvestasikan dana sekitar Rp 750 juta untuk sewa lahan dan mendirikan restoran. Kini dia lebih fokus mengelola dua restonya. Tiga warung tenda sudah ditutup. "Anak-anak (karyawan-red) pada ogah disuruh kerja di warung tenda mas. Jadi saat saya gilir ke sini pada tidak mau lagi ke warung tenda," ujarnya.
Sekarang Narto semakin menata pengelolaan usahanya. Dari sekitar 40 karyawan yang bergabung di bagi dalam dua bagian yaitu bagian produksi dan bagian pelayanan. Sedang untuk yang bertugas pada kasir, dalam sehari tiga kali melaporkan ke dia.
"Saya tertarik bisnis kuliner antara lain didorong saat sering liputan dan menangani rubrik tentang kuliner," ujar Narto, panggilan rekan-rekannya saat masih di media. Saat memulai, dia mengaku dapat pinjaman modal dari saudaranya.
Namun, jalan yang dilalui ayah dari Raidha ini cukup terjal dan berliku. Saat mulai membuka warung dia langsung dihadang masalah. tanah yang dia beli untuk mendirikan warung di daerah Cibinong ternyata jalur hijau. Sehingga baru sekitar enam bulan bangunan permanen dua tingkat didirikan dan warung dibuka terkena penggusuran.
Dia, istri dan anak semata wayang menyaksikan langsung penggusuran bangunan yang menghabiskan puluhan juta saat dibangun itu. Dia mengaku salah dan tertipu saat membeli tanah. Namun Narto justru mendapat jalan di tengah penggusuran itu. "Habis penggusuran saya malah ditawari petugas Trantib untuk mendirikan tenda di depan Kantor Pemkab Bogor di Cibinong," ujar Narto.
Tawaran itu langsung ditangkap. Dia mendirikan warung tenda dengan menu bebek goreng yang dinamakan "Bego". Selain tentu saja menu sate kambing. Perlahan tapi pasti warungnya banyak pembelinya. Hanya berselang dua bulan dia membuka satu cabang masih tak jauh dari lokasi yang pertama. Tak lama kemudian satu warung tenda dibuka lagi. Sehingga dalam waktu setahun setelah tergusur dia bisa mendirikan tiga warung tenda.
Merasa terlanjur "basah" di bisnis kuliner, Narto mengaku semakin menekuni kegiatannya itu. Apalagi ada 20 karyawan yang bekerja pada dia. Untuk itu tak jarang, sehabis menutup warung tenda ditengah malam, dia lanjutkan belanja sayuran ke pasar hingga subuh. Usaha-usaha pengembangan tak henti dilakukan. "Terpenting adalah mencari lokasi yang tepat," ujarnya.
Setelah berkali-kali tak berhasil, akhirnya dia mendapatkan lahan sewa di pinggir jalan baru Bogor-Parung. Di tempat yang kini semakin ramai setelah dibukanya jalan tol luar Bogor itu Narto menyewa lahan seluas 200 meter persegi selama 10 tahun untuk dirikan warung sate "Laka-laka" tahun 2010. Berarti dia butuh waktu tujuh tahun untuk bisa bangkit mendirikan warung lagi.
Pilihan Narto tidak salah. Warung yang didirikan di atas lahan sewa itu banyak dikunjungi pembeli. Menunya pun bervariasi. Selain menu utama sate kambing, dia juga menjual bebek goreng, ayam goreng, sop sapi, sate ayam, sop kambing. Selain berbagai minuman. Ia pun mengajak keluarga pemilik lahan itu untuk menjual es kelapa muda. Dia menyebut rata-rata untuk kambing dia bisa menghabiskan lima ekor.
Bulan Juni 2012, dia kembali membuka cabang sate "Laka-laka" di Kota Bogor. Di kawasan kuliner itu, dia mengaku menginvestasikan dana sekitar Rp 750 juta untuk sewa lahan dan mendirikan restoran. Kini dia lebih fokus mengelola dua restonya. Tiga warung tenda sudah ditutup. "Anak-anak (karyawan-red) pada ogah disuruh kerja di warung tenda mas. Jadi saat saya gilir ke sini pada tidak mau lagi ke warung tenda," ujarnya.
Sekarang Narto semakin menata pengelolaan usahanya. Dari sekitar 40 karyawan yang bergabung di bagi dalam dua bagian yaitu bagian produksi dan bagian pelayanan. Sedang untuk yang bertugas pada kasir, dalam sehari tiga kali melaporkan ke dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berikan kritik dan saran untuk artikel ini. Terima kasih telah membaca artikel saya.